TRAGEDI NASIONAL DAN KONFLIK-KONFLIK INTERNAL YANG LAIN
A. Dampak persoalan hubungan pusat daerah , persaingan ideologis, dan pergolakan sosial politik lainnya terhadap kehidupan politik nasional dan daerah sampai awal tahun 1960 an
Kabinet
Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Undang Undang No. 1 tahun 1957 yang
mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, dimana didalamnya
diatur pembagian kekuasaan dan keuangan pusat dengan daerah.
Pada
tanggal 9 April 1957 Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Djuanda
menggantikan Kabinet Ali Sastroadmijojo II. Kabinet ini secara teoritis
bersifat non partai, namun pada hakikatnya kabinet ini merupakan koalisi
antara PNI dan NU.
Pada
bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri dari 41 wakil
golongan fungsional [ pemuda, kaum petani, kaum buruh, kaum wanita, para
cendekiawan, pemuka agama, kelompok-kelompok daerah dan lain-lain] di
tambah beberapa anggota ex officio. Dewan Nasional ini langsung dipimpin
oleh Presiden Soekarno, sedangkan pelaksana harian adalah wakil
ketuanya Ruslan Abdulgani. Kalangan militer berusaha menjamin bahwa
cara-cara baru yang bersandar pada golongan golongan fungsional yang
berafiliasi dengan partai-partai. Kabinet menjalin hubngan dengan dewan
dewan militer daerah yang telah mengambil alih kekuasaan di daerah
daerahnya, bahkan memberi mereka beberapa dana dengan kedok pembangunan
daerah.
Pada
tanggal 10 – 14 September 1957 Kabinet Djuanda mengadakan musyawarah
nasional di Jakarta. Ada harapan bahwa musyawarah nasional yang pertama
ini akan membawa hasil tentang cara cara pemecahan riil maslah
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang dirasakan selama itu tidak
adil. Para wakil dari dewan dewan daerah tampaknya bersedia bekerjasama,
tetapi setiap kali pertemuan selalu tidak mencapai tujuan (selalu
menemui jaklan buntu). Pada masa pemerintahan kabinet ini hubungan
pemerintah pusat dengan daerah semakin tidak harmonis. Hal ini terlihat
dari mumculnya berbagai pergolakan di berbagai daerah yang berhubungan
dengan perimbangan perekonomian pusat dengan daerah. Adanya konsepsi
presiden tentang Konsep Ekonomi Nasional menambah ketegangan di daerah.
Perkembangan yang terjadi sangat tidak menguntungkan pemerintah RI.
Pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat yang
berpokok pada masalah ekonomi dan perimbangan keuangan Pusat dan daerah
makin lama makin meningkat.
- Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat
Gerakan-gerakan
di daerah yang menentang kebijakan perimbangan ekonomi pusat dan daerah
muncul pertama kali di Sumatera Barat, dengan berdirinya Dewan Banteng
yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein. Gerakan ini menuntut
otonomi daerah kepada Pemerintah Pusat, serta pergantian kabinet
Djuanda. Menyusul Dewan Banteng, berdirilah beberapa Dewan Militer
diberbagai daerah, seperti :
1. Dewan Gajah (Medan) : Kolonel M. Simbolon
2. Dewan Garuda (Palembang) ; Kolonel Barlian
3. Dewan Lambung Mangkurat (Kalimantan) : Kolonel M. Basri
4. Dewan Manguni (Menado) : Kolonel Ventje Samuel
Letnan
Kolonel Ahmad Husein bersama dengan beberapa tokoh sipil yang lain
seperti Syarif Usman, Burhanudin Harahap, dan Syafrudin Prawiranegara
bahkan mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat, bahwa dalam waktu
5 x 24 jam P.M. Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan
presiden diminta untuk kembali kepada kedudukan semula sebagai presiden
yang konstitusional.
Menanggapi berbagai gerakan ini, KSAD segera mengeluarkan larangan bagi
para perwira untuk berpolitik dan memberikan ultimatum akan memecat
siapa saja yang terlibat gerakan politik. Karena merasa tidak diindahkan
oleh pemerintah pusat, Gerakan ini semakin mempertegas sikapnya dengan
mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dibawah pimpinan Perdana Menteri Syafrudin Prawiranegara
{ Siapakah dan apakah jasa Syafrudin Prawiranegera dalam pemerintahan
RI ? ]. Gerakan ini bertujuan bukan untuk memisahkan diri dari RI tetapi
gerakan yang bersifat menggantikan pemerintahan yang sah.
Untuk menumpas gerakan ini pemerintah RI melaksanakan beberapa operasi, yaitu :
1. Operasi Tegas [ mengamankan Riau ] dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution
2. Operasi 17 Agustus [ mengamankan Sumatera barat ], dipimpin oleh Kol. A Yani
3. Operasi Saptamarga [ mengamankan Sumatera Utara ] , dipimpin Brigjen Jatikusumo
4. Operasi Sadar [ mengamankan Sumatera Selatan ] dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.
Pada tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein berserta pasukannya menyerahkan diri dan pemberontakan PRRI pun berakhir.
2. Piagam Perjuangan Semesta
Gerakan daerah yang berlatarbelakang perimbangan ekonomi pusat dan
daerah akhirnya meluas ke Sulawesi. Dewan Manguni yang dipimpin oleh
Letkol Ventje Samuel mendukung PRRI dan mengumumkan berdirinya Permesta
pada tanggal 2 Maret 1957. Gerakan ini menuntut dilaksanakannya Repelita
dan pembagian pendapatan daerah secara adil ( daerah surplus mendapat
70% dari hasil ekspor ).
Untuk menumpas gerakan ini pemerintah melaksanakan Operasi Merdeka, yang merupakan operasi gabungan dan dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.
Gerakan penumpasan Permesta merupakan operasi yang sangat sulit, karena
medan pertempuran sangat cocok dengan kondisi pemberontak, serta adanya
indikasi keterlibatan pihak asing (AS), yaitu dengan tertangkapnya
pilot helikopter Alan Pope (warga negara Amerika Serikat) yang berhasil
ditembak jatuh oleh pasukan TNI. Pada pertengahan tahun 1961 sisa sisa
pemberontakan Permesta menyerahkan diri dan memenuhi seruan pemerintah
untuk kembali ke tengah tengah masyarakat.
B. Peristiwa Madiun/PKI dan cara yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangannya dan konflik-konflik internal lainnya
Perundingan
Renville yang sangat merugikan bangsa Indonesia, akhirnya membawa
korban, yaitu dengan dibubarkannya kabinet Amir Syarifudin dan
digantikan oleh Kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifudin merasa sakit
hati dan membentuk Front Demokratik Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni
1948, dan memposisikan dirinya sebagai oposisi dari pemerintah kabinet
Hatta.
FDR pada kemudian hari akhirnya bergabung dengan Partai Komunis
Indonesia pimpinan Muso, Alimin, Semaun dan Darsono. Bersama PKI, FDR
merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Sebelum melakukan perebutan
kekuasaan gerakan ini berusaha untuk melakukan agitasi-agitasi dengan
cara merongrong, menyebarkan berita-berita yang tidak benar tentang
pemerintahan kabinet Hatta. Mereka berusaha untuk mempengaruhi rakyat dan menimbulkan kebencian kepada pemerintah.
Puncak dari gerakan PKI ini adalah tanggal 18 September 1948 dengan mengumumkan berdirinya Negara Soviet Republik Indonesia
di Madiun. Menyertai gerakan ini, mereka mengadakan aksi-aksi kejam,
dengan mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh
pemerintah dan agama. Salah satu tokoh pemerintah yang menjadi korban
gerakan ini adalah Gubernur Jawa Timur, R.M. Suryo yang diculik dan dibunuh.
Gerakan ini merupakan sebuah pengkhianatan dari dalam negeri, mengingat
disaat yang sama pemerintah dan bangsa Indonesia sedang menghadapi
Agresi Militer Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan serangkaian operasi sebagai berikut :
- Ketika kekacauan di Solo meningkat, pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer Surakarta dan sekitarnya (Semarang. Pati, Madiun)
- mengangkat Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer jawa Timur
- Menyerahkan pimpinan operasi penumpasan kepada Panglima Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution (karena panglima TNI / Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang sakit)
Pada
tanggal 30 September 1948 Madiun dapat direbut dan diduduki kembali
oleh pasukan Brigade Siliwangi pimpinan Mayor Ahmad Wiranatakusumah dan
Brigade Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono. Dalam operasi ini
pimpinan PKI Madiun, Muso berhasil ditembak mati pada saat akan
melarikan diri ke Rusia, sedangkan pimpinan yang lain seperti, Semaun,
Darsono, Alimin, dan Amir Syarifudin berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati dalam pengadilan / mahkamah militer.
Dampak dari pemberontakan PKI Madiun ini adalah :
- Korban pemberontakan PKI dari kedua belah pihak sangat besar, termasuk rakyat yang tidak mengerti soal politik.
- Kekuatan
bangsa Indonesia dalam perjuangan menghadapi Belanda menjadi lemah dan
dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan agresi militernya yang kedua
- Keberhasilan
menumpas pemberontakan PKI Madiun menimbulkan simpati dari dunia barat,
terutama Amerika Serikat sehingga memperkuat posisi Indonesia dalam
perjuangan diplomasi melawan Belanda
C. Peristiwa DI/TII dan Cara Yang Dilakukan Pemerintah Dalam Penanggulangannya
Gerakan pemberontakan ini berawal dari gagasan / ide Sekarmadji
Maridjan Kartosuwiryo untuk membentuk sebuah negara Islam. Kartosuwiryo
mendirikan Pondok Pesantren Sufah, di Malangbong Jawa Barat. Di pondok
inilah ia menggembeng pasukan Hizbullah dan sabillillah. Ia pernah
menjadi sekretaris partai Masyumi Jawa Barat, bahkan pernah dicalonkan
sebagai Menteri Muda Pertahanan. Namun jabatan ini tidak pernah
diembannya.
Pada
saat terjadi Agresi Militer Belanda I, ia dan pasukannya melancarkan
perang suci melawan Belanda. Puncak dari peristiwa yang meletuskan
pemberontakan Kartosuwiryo adalah hasil perundingan Renville yang
mengakibatkan seluruh pasukan TNI harus melakukan hijrah ke dalam
wilayyah RI di Yogyakarta. Pasukan Divisi pimpinan Kartosuwiryo ( bagian
dari Divisi Siliwangi Jawa Barat ), menyatakan tidak bersedia hijrah.
Kantong-kantong TNI yang ditinggal hijrah diisi oleh pasukan
Kartosuwiryo, dan meneruskan gerilya melawan Belanda di Jawa Barat.
Pada bulan Pebruari 1948, Kartosuwiryo mengubah gerakan suci melawan
Belanda menjadi sebuah gerakan politik, dengan menobatkan diri sebagai
Imam Negara Islam Indonesia, dan menamakan pasukannya dengan nama
Tentara Islam Indonesia (TII).
Kontak senjata pertama terjadi dengan pasukan TNI dari Divisi
Siliwangi yang baru kembali dari Yogyakarta tanggal 25 Januari 1949. Sejak saat itu terjadi perang segi tiga antara pasukan DI/TII – TNI – Belanda.
Tindakan pemerintah dalam menumpas gerakan DI/TII :
1. Pendekatan
oleh pimpinan Partai Masyumi : Moh. Natsir melalui surat tidak
berhasil, bahkan Kartosuwiryo secara resmi membalas surat itu dengan
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tanggal 7
Agustus 1949
2. Bulan
September 1949 untuk kedua kali Moh. Natsir membujuk Kartosuwiryo untuk
menghentikan pemberontakan dan kembali ke pangkuan RI, tetapi gagal.
Bahkan sejak saat itu rakyat Jawa Barat mulai mengalami teror dari
gerombolan DI/TII yang sering melakukan pembunuhan, merampas harta benda
rakyat untuk memenuhi kebutuhan logistik pasukan / gerombolan ini.
3. Setelah
tindakan persuasif tidak berhasil mengembalikan Kartosuwiryo ke
pangkuan ibu pertiwi, pemerintah bertindak tegas dengan menggelar Operasi Pagar Betis.
Operasi yang dilaksanakan dengan bantuan rakyat Jawa barat ini
bertujuan untuk mempersempit ruang gerak gerombolan. Sehingga semakin
hari semakin banyak para pengikut Kartosuwiryo yang menyerahkan diri dan
kembali ke tengah- tengah masyrakat. Gerombolan DI/TII terdesak di Gunung Geber, Tasikmalaya.
4. Akhirnya
tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwiryo beserta keluarga dan pengikutnya
dapat ditangkap hidup-hidup dalam sebuah operasi yang diberi nama sandi Operasi Baratayudha. Dan pada tanggal 16 Agustus Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati.
a. Di Jawa Tengah
Gerakan ini diproklamasikan di Desa Pengarasan, kabupaten Tegal pada
tanggal 23 Agustus 1949, dan menyatakan diri bergabung dengan Negara
Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Gerakan ini dipimpin oleh Amir
Fatah, bekas anggota TNI dari kesatuan Hizbullah.
Gerakan
dapat ditumpas melalui Operasi Banteng Negara pimpinan Kolonel Sarbini,
Letkol Bachrum dan Letkol Ahmad Yani, pada tahun 1950.
a. Di Kebumen
Gerakan
ini dipimpin oleh Mohammad Mahfud Abdulrahman atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Kyai Sumolangu. Seperti Amir Fatah, gerakan ini juga
menyatakan sebagai bagian dari NII Kartosuwirtyo. Gerombolan ini dapat
ditumpas pada tahun 1954 melalui sebuah operasi militer yang diberi nama
Operasi Guntur.
b. Di Kalimantan Selatan
Pemberontakan
DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh bekas Letnan Dua TNI yang
bernama Ibnu hajar. Ia menamakan pasukannya sebagai Kesatuan Rakyat yang
Tertindas [KRYT].
Semula
pemerintah bertindak persuasif terhadap gerakan ini, karena Ibnu Hajar
bersedia kembali bergabung dengan APRIS. Namun tindakan ini ternyata
hanya muslihat Ibnu Hajar supaya pasukannya semakin kuat dana kembali
melakukan pemberontakan. Akhirnya pemerintah bertindak tegas dengan
menumpas habis gerakan ini pada tahun 1959.
c. Di Sulawesi Selatan
Kahar
Muzakar memulai gerakannya pada tahun 1951 dan menamakan gerakannya
dengan Komando Gerakan Gerilya Sulawesi Selatan. Ia menuntut supaya
pasukannya dimasukkan ke dalam APRIS dengana nama brigade
Hasanudin.Namun tuntutan ini ditolak pemerintah, tetapi pemerintah
memberikan wadah bagi pasukan kahar Muzakar dengan nama Korps Cadangan
Nasional.
Awalnya
Kahar Muzakar menerima tawaran pemerintah ini. Pada saat pasukan ini
akan dilantik, Kahar Muzakar dan kelompoknya melarikan diri ke hutan
dengan membawa seluruh peralatan militer yanag akan digunakan untuk
pelantikan. Penipuan Kahar Muzakar ini dibalas pemerintah dengan
melakukan operasi besar besaran dari Divisi Diponegoro. Pada bulan
Pebruari 1965 Kahar Muzakar tertembak mati.
d. Di Aceh
Kekecewaan
Tengku Daud Beureuh kepada pemerintah, karena hilangnya kedudukan
militer dan turunnya status Aceh dari sebuah dari istimewa menjadi
karesidenan, menyebabkan Daud Beureuh menyatakan diri bergabung dengan
Negara Islam Indonesia ( 21 September 1953 )
Pemerintah
berusaha mengatasi pemberontakan ini dengan mendatangkan pasukan dari
Sumatera Utara dan tengah. Karena terus terdesak pasukan Daud Beureuh
melakukan pemberontakan dari hutan-hutan, di pegunungan Bukit Barisan.
Selain
tindakan represif, pemerintah juga melakukan tindakan persuasif dengan
mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aaceh, atas prakarsa Kolonel M.
Yasin (Panglima Kodam I Iskandar Muda). Musyawarah ini membawa hasil
yang sangat positif, karena Daud Beureuh akhirnya bersedia kembali ke
tengah tengah masyarakat Aceh dan menerima Amnesti dari pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar